Category Archives: Teori dan Ilmu Urban Planning

‘URGENSI PENYEDIAAN RUANG TERBUKA SEBAGAI RUANG BERMAIN ANAK DI PERKOTAAN’

Perkembangan kota yang pesat, menyebabkan banyak masalah, salah satu diantaranya adalah terjadinya perubahan fungsi lahan. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh Pemerintah kota dan pihak swasta adalah merubah fungsi ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun. Dampak dari kesemuanya itu adalah hilangnya fasilitas umum yang biasa digunakan oleh warga, salah satu diantaranya adalah hilangnya fasilitas tempat bermain anak (Saragih, 2004).
Faisal (dalam Saragih, 2004) menyatakan bahwa:
“ …Pemerintah hanya menginginkan sisi komersial dari setiap pembangunan ruang bermain itu, bukan semata-mata memberikan hak yang sepatutnya di terima masyrakat, khususnya bagi anak-anak. Sebenarnya bagi anak-anak sendiri, ada atau tidak adanya ruang bermain, tidaklah begitu menjadi masalah, sebab secara alami, mereka telah memiliki kemampuan menemukan ruang bermainnya sendiri, tetapi masalahnya ruang bermain itu kondusif atau tidak adalah tanggung jawab orang dewasa…”
Pemerintah dan sebagian masyarakat menganggap bahwa ruang terbuka sebagai tempat bermain bukanlah sesuatu hal yang penting. Bahkan beberapa fakta menunjukan akibat dari perkembangan kota maka ada kecenderungan untuk melakukan perubahan fungsi ruang, dan yang paling sering terkena dampaknya adalah ruang bermain (Saragih, 2004).
Isu tentang semakin minimnya ruang terbuka di tengah kota akibat peruabhan fungsi bukan isapan jempol semata. Hal ini terjadi di hampir semua kota besar di Indonesia. Jika mengacu pada UU 26/2007 tentang penataan ruang, maka proporsi RTH seharusnya 30% yang merupakan kombinasi RTH publik dan privat, baik RTH aktif atau pasif. Sebagai gambaran, Toro (2011) menjabarkan bahwa proporsi luas RTH Jakarta baru sekitar 9,8 persen (kompas.com 25 April 2011), Medan sekitar 8 persen (hariansumutpos.com 5 Oktober 2010), Bandung sekitar 11 persen (Pikiran Rakyat Online 23 Februari 2011), Makassar sekitar 15 persen (mediaindonesia.com 21 Februari 2011), Solo sekitar 18 persen (republika.co.id 12 Mei 2011), dan Malang sekitar 17 persen (mediaindonesia.com 27 Maret 2011).
Padahal RTH tersebut, terutama RTH aktif yang biasanya diwujudkan sebagai taman publik, merupakan wadah bermain anak-anak yang kondusif. Lebih jauh lagi, bahkan ruang bermain pada ruang terbuka tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh anak saja, tapi juga untuk berbagai kalangan. Meski begitu, sebenarnya anak-anak tetap membutuhkan ruang bermain khusus yang sifatnya terbuka dan memang benar-benar ditujukan untuk mereka. Minimnya ruang bermain anak di perkotaan tercermin dari banyaknya anak-anak yang bermain di tempat- tempat yang bukan semestinya tempat bermain seperti di jalanan, bantaran kali, dan tempat yang kurang pas. Trend yang berkembang saat ini memang permainan anak-anak yang sifatnya di ruang terbuka akhirnya tidak populer dan mendorong anak-anak menjadi cenderung pasif dan individualis.
Situasi yang memprihatinkan ini memaksa anak-anak bermain di tempat bermain khusus dan tidak menggunakan tempat bermain di ruang terbuka yang merupakan sebuah ruang publik yang nyaman, karena memang tidak ada lagi ruang terbuka untuk bermain. Sering kita lihat banyak anak-anak bermain bola di jalanan beraspal, yang membahayakan nyawa mereka. Berkurangnya ruang terbuka publik ini tidak saja merupakan persoalan pakar lingkungan, tetapi menjadi beban psikologis masyarakat kota akan kebutuhan ruang sebagai aktualisasi diri (Sukawi, 2007). Maraknya pembangunan gedung (mall, ruko, kantor) semakin meminggirkan anak-anak yang sangat membutuhkan ruang terbuka hijau untuk tempat bermain. Kecenderungan anak-anak untuk memilih permainan modern yang tidak menuntut ruang spasial khusus bagi mereka tentu akan mempengaruhi psikologis perkembangan mereka nanti. Buruknya perkembangan ini pada anak tidak terlepas pada kemampuan pemerintah menyediakan ruang bermain khusus bagi anak tersebut.
Pentingnya ruang bermain bagi anak-anak di kota, seperti diungkapkan Pearce (1980, dalam Sukawi, 2007), ruang bermain merupakan tempat dimana anak-anak tumbuh dan mengembangkan intelegensinya. Tempat dimana mereka membuat kontak dan proses dengan lingkungan, serta membantu sistem sensor dan proses otak secara keseluruhan. Dari tempat bermain pula, anak belajar sportivitas, disiplin dan mengembangkan kepribadiannya.

Sumber:
Saragih, Bobby. 2004. Konsep Desain Tempat Bermain Anak: Sebuah Study Tempat Bermain Anak di Perumahan Rumah Sederhana (RS). Disampaikan pada Seminar Nasional ”Kota Ramah Anak, Jakarta, 12 Oktober 2004.
Toro, Kuncoro. 2011. Langkah Setapak Menuju Pengurangan Emisi Karbon 26% pada Tahun 2020: Target Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Kota. http://kuncoromm.blogdetik.com
Sukawi, 2007. Pelajaran Mahal Minimnya Ruang Bermain. Semarang: Jurnal Undip Press.


Review The Concise Townscape by Gordon Cullen

Thomas Gordon Cullen (1914-1994) adalah seorang arsitek dan perancang kota berkebangsaan Inggris yang berperan besar dalam pencetusan townscape melalui bukunya, The Concise Townscape. Cullen lahir di Calverley, 9 Agustus 1914. Semasa hidupnya, dia bekerja sebagai penulis sekaligus arsitek dan konsultan perencana (urban planning consultant).

Townscape adalah seni yang terdapat secara visual dalam penataan bangunan-bangunan, jalan, serta ruang yang menghiasi lingkungan perkotaan. Definisi lain dari townscape adalah salah satu cara yang dapat digunakan dari segi fisik visual untuk mengenali bentuk fisik suatu kota. Selain itu, townscape juga dapat diidentifikasi melalui bentuk penataan atau desain dari bangunan-bangunan dan jalan yang ditangkap berdasar berbagai tingkatan emosional masing-masing pengamat. Konsep townscape ini menjadi dasar bagi para arsitek, perencana, dan pihak-pihak yang memperhatikan wajah kota.
Bentuk fisik ruang kota dipengaruhi dan ditentukan oleh bentuk dan massa bangunan. Keterkaitan itu dirasakan secara psikologis maupun secara fisik oleh pengamat bentuk fisik ruang kota serta bentuk dan massa bangunan tersebut. Selain itu, keterkaitan juga dapat dilihat secara visual pada kualitas bentuk kota yang ditentukan oleh bentuk dan ukuran ruang kota serta penataannya.
Melalui buku The Concise Townscape, Gordon Cullen mengemukakan nilai-nilai yang harus ditambahkan dalam urban design sehingga masyarakat di kota tersebut secara emosional dapat menikmati lingkungan perkotaan yang baik melalui rasa psikologis maupun fisik. Empat hal yang ditekankan Cullen pada bukunya adalah: serial vision, place, content, dan the functional tradition. Masing-masing dari empat inti townscape tersebut memiliki rincian aspek townscape lebih detail lagi yang dapat dilihat pada bukunya, The Concise Townscape.

Penjelasan dari serial vision adalah gambaran-gambaran visual yang ditangkap oleh pengamat yang terjadi saat berjalan dari satu tempat ke tempat lain pada suatu kawasan. Rekaman pandangan oleh pengamat itu menjadi potongan-potongan gambar yang bertahap dan membentuk satu kesatuan rekaman gambar kawasan bagi pengamat. Biasanya, akan ada kemiripan, suatu benang merah, atau satu penanda dari potongan-potongan pandangan tersebut yang memberi kepastian pada pengamat bahwa dia masih berada di satu kawasan yang sama.

Penjelasan dari Place adalah perasaan yang dimiliki pengamat secara emosional pada saat berada di suatu tempat tertentu. Place dipengaruhi oleh batas-batas yang ada pada suatu tempat tersebut.

Penjelasan dari content adalah isi dari suatu kawasan yang mempengaruhi perasaan seseorang terhadap keadaan lingkungan kota tersebut. Content tergantung oleh dua faktor yaitu pada tingkat kesesuaian (conformity) dan tingkat kreativitas (creativity).

Penjelasan dari the functional tradition adalah kualitas di dalam elemen-elemen yang membentuk lingkungan perkotaan yang juga memiliki segi ekonomis, efisien dan efektif.

Berdasarkan uraiannya dalam buku The Concise Townscape, Cullen menyimpulkan tiga hal di akhir bukunya, yaitu:
 Suatu lingkungan perkotaan tersusun melalui dua cara. Yang pertama, kota disusun sebagai objek dari luar perencana sebagai subjek. Yang kedua, kota yang sudah disusun kemudian diisi oleh aktivitas-aktivitas penghidup. Keduanya merupakan suatu kesinambungan yang saling melengkapi. Peran townscape disini adalah sebagai pembentuk kota yang menjadi struktur dan mendukung aktivitas manusia tersebut.
 Penataan perkotaan harus bisa memberikan rasa nyaman pada masyarakat yang menempatinya. Lingkungan perkotaan banyak mempengaruhi perkembangan masyarakatnya secara psikologis maupun fisik. Oleh karena itu, art of environment perlu ditekankan dalam urban design.
 Dalam penataan suatu perkotaan harus memperhatikan logika dalam lingkungan Atlas. Hal ini berkaitan dengan dimensi fisik geometri dan dimensi waktu.

Pada intinya, townscape menjadi rangkaian elemen perkotaan yang penting di dalam urban design. Dengan townscape, masyarakat bisa mengenali suatu kawasan baik secara fisik maupun secara emosional. Townscape sebaiknya tertata secara baik karena pengaruhnya yang cukup berdampak pada perkembangan masyarakat yang menempati suatu kawasan tersebut. Selain itu, dengan townscape, maka tercipta the art of environment yang penting bagi suatu kota.

Sumber:
Cullen, Gordon. 1961. The Concise Townscape. London:Architectural Press.


Konsep Citra Kota dalam Urban Design

Citra kota dapat disebut juga sebagai kesan atau persepsi antara pengamat dengan lingkungannya. Kesan pengamat terhadap lingkungannya tergantung dari kemampuan beradaptasi “pengamat” dalam menyeleksi, mengorganisir sehingga lingkungan yang diamatinya akan memberikan perbedaan dan keterhubungan. Persepsi atau perseive dapat diartikan sebagai pengamatan yang dilakukan secara langsung dikaitkan dengan suatu makna. Persepsi setiap orang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman yang dialami, sudut pengamatan, dan lain-lain.

Citra kota belum tentu merupakan identitas. Citra Kota dapat dibuat secara instan, sedangkan identitas membutuhkan waktu yang lama untuk membentuknya. Jati diri kota berkaitan dengan ritme sejarah yang telah melalui proses panjang sehingga jati diri suatu kota tidak dapat diciptakan begitu saja berbeda dengan citra kota

Lynch, (1975: 6-8) dalam bukunya “The Image of The City” sebuah citra memerlukan:

– Identitas pada sebuah obyek atau sesuatu yang berbeda dengan yang lain

– Struktur atau pola saling hubung antaran obyek dan pengamat

– Obyek tersebut mempunyai makna bagi pengamatnya

Citra/kesan/wajah pada sebuah kota merupakan kesan yang diberikan oleh orang banyak bukan individual. Citra kota lebih ditekankan pada lingkungan fisik atau sebagai kualitas sebuah obyek fisik (seperti warna, struktur yang kuat, dll), sehingga akan menimbulkan bentuk yang berbeda,bagus dan menarik perhatian.

Elemen pembentuk citra kota menurut Kevin Lynch adalah:

1. Paths

Merupakan suatu jalur yang digunakan oleh pengamat untuk bergerak atau berpindah tempat. Menjadi elemen utama karena pengamat bergerak melaluinya pada saat mengamati kota dan disepanjang jalur tersebut elemen-elemen lingkungan lainnya tersusun dan dihubungkan. Path merupakan  elemen yang paling penting dalam image kota yang menunjukkan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran dan sebagainya. Path mempunyai identitas yang lebih baik kalau memiliki identitas yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun,dan lain-lain), serta ada/ penampakan yang kuat (misalnya fasade, pohon, dan lain-lain), atau belokan yang jelas.

Sumber: Digambar ulang menurut Lynch, Kevin dalam Perancangan Kota Secara Terpadu oleh Markus Zand

Gambar Path

2. Edges

Merupakan batas, dapat berupa suatu desain, jalan, sungai, gunung. Edge memiliki identitas yang kuat karena tampak visualnya yang jelas. Edge merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk yang merupakan pengakhiran dari sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas : membagi atau menyatukan. Contoh : adanya jalan tol yang membatasi dua wilayah yaitu pelabuhan dan kawasan perdagangan.

Sumber: Digambar ulang menurut Lynch, Kevin dalam Perancangan Kota Secara Terpadu oleh Markus Zand

Gambar Edge

3. Districts

Merupakan suatu bagian kota mempunyai karakter atau aktivitas khusus yang dapat dikenali oleh pengamatnya. District memiliki bentuk pola dan wujud yang khas begitu juga pada batas district sehingga orang tahu akhir atau awal kawasan tersebut. District memiliki ciri dan karakteristik kawasan yang berbeda dengan kawasan disekitarnya. District juga mempunyai identitas yang lebih baik jika batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan komposisinya jelas. Contoh: kawasan perdagangan, kawasan permukiman, daerah pinggiran kota, daera pusat kota.

Sumber: Digambar ulang menurut Lynch, Kevin dalam Perancangan Kota Secara Terpadu oleh Markus Zand

Gambar District

4. Nodes

Merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau aktivitasnya saling bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman, square, tempat suatu bentuk perputaran pergerakan, dan sebagainya. Node juga merupakan suatu tempat di mana orang mempunyai perasaan ‘masuk’ dan ‘keluar’ dalam tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi, bentuk). Contoh: persimpangan jalan

Sumber: Digambar ulang menurut Lynch, Kevin dalam Perancangan Kota Secara Terpadu oleh Markus Zand

Gambar Node

5. Landmark

Merupakan simbol yang menarik secara visual dengan sifat penempatan yang menarik perhatian. Biasanya landmark mempunyai bentuk yang unik serta terdapat perbedaan skala dalam lingkungannya. Beberapa landmark hanya mempunyai arti di daerah kecil dan hanya dapat dilihat di daerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa di lihat dari mana-mana. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang mengenali suatu daerah. Selain itu landmark bisa juga merupakan titik yang menjadi ciri dari suatu kawasan. Contoh: patung Lion di Singapura, menara Kudus, Kubah gereja Blenduk.

Sumber: Digambar ulang menurut Lynch, Kevin dalam Perancangan Kota Secara Terpadu oleh Markus Zand

Gambar Landmark

 

Daftar Pustaka:

Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota secara Terpadu. Yogyakarta: Kanisius



“Kota Berkelanjutan untuk Kehidupan yang Lebih Baik di Masa Depan”

Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development menjadi konsep yang sedang marak dibicarakan oleh para ahli di berbagai negara. Ancaman global warming memang sudah tidak dapat disangkal lagi sehingga membutuhkan suatu langkah pencegahan untuk tidak memperparah masalah dunia tersebut. Pendekatan baru pun mulai diarahkan melalui konsep sustainable development yang mengintegrasi aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial untuk menciptakan kondisi pemanfaatan sumber daya yang ada seefisien mungkin demi menjaga kondisi di masa depan. Hal yang menarik adalah konsep ini muncul bahkan sebelum adanya isu pemanasan global, salah satunya yang cukup terkenal adalah Brundtland (1987), menyatakan kota berkelanjutan adalah kota yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kebutuhann generasi mendatang. Ini menunjukan bahwa sudah ada arah perwujudan pembangunan yang lebih baik sejak lama namun masyarakat global baru menyadari pentingnya konsep ini setelah merasakan dampak pembangunan yang tidak terkendali.

Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut kemudian mulai diturunkan dan dikenalkan dalam perwujudannya di kota-kota sehingga menghasilkan konsep kota berkelanjutan atau sustainable city. Jadi, kota berkelanjutan adalah kota yang dalam pembangunannya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang dengan menciptakan keseimbangan lingkungan, sosial, dan ekonomi tanpa mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang. Secara umum, definisi dari sustainable city ini tidak jauh berbeda dari sustainable development. Secara sederhana, kondisi kota yang berkelanjutan dapat diciptakan dengan usaha untuk menerapkan pendekatan living green, eco-friendly environment, serta efficiency energy.

Dalam penerapannya di kota-kota maju, sustainable city sering dikenal dengan istilah compact city. Konsep bentuk kota kompak ini sangat mengacu pada upaya untuk meningkatkan efisiensi energi baik secara mikro individu, rumah tangga, kawasan, dan kota itu sendiri. Ide ini diwujudkan yakni dengan menyediakan suatu konsentrasi dari penggunaaan campuran secara sosial berkelanjutan, memusatkan pembangunan-pembangunan dan mereduksi kebutuhan perjalanan, hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan. Bentuk kota kompak ini dipercaya dapat mewujudkan kota hemat energi mulai dari segi penggunaan lahan dan transportasinya.

Secara teknis, kota kompak yang dianggap sebagai perwujudan kota berkelanjutan mengusahakan kota yang ramah lingkungan dengan adanya arsitektur ekologis pada perumahannya, jaringan infrastruktur memadai dengan ketersediaan air dan waste management yang baik, pendayagunaan transportasi massal, penghijauan lingkungan dengan taman dan hutan kota. Desain kota diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang sehat dan memungkinkan masyarakat memiliki produktifitas tinggi dari segi ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Kemudian, tingkat partisipasi masyarakat juga menjadi salah satu tumpuan utama demi keberhasilan pembangunan. Keseluruhan ketentuan tersebut pada akhirnya perlu dipayungi juga oleh kebijakan yang mendukung seperti zoning regulation yang pro lingkungan sebagai pengendali pembangunan dan pemanfaatan lahan lokal.

Sumber Literatur:
Brundtland, Gro Harlem. 1987. Our Common Future. Oxford: Oxford University Press.
Frick, Heinz dan Tri Hesti Mulani. 2006. Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Kanisius.
Jenks, Mike, and Elizabeth Burton, Katie Williams. 1996. The Compact City: A Sustainable Urban Form?. London: E & FN Spon.
Newman, P. W. G. dan Kenworthy, J. 1989. Cities and Automobile Dependence: An International Sourcebook. UK: Gower Publishing Aldershot.
Sugandhy, Aca danRustam Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.